Faith is a knowledge within the heart, beyond the reach of proof.
Khalil Gibran
pexel.com
Eksperiensial biasanya dipakai dalam dunia pendidikan. Pembelajaran experiential mengacu pada beberapa definisi yaitu
(1) keterlibatan peserta didik dalam kegiatan konkrit yang membuat mereka mampu untuk “mengalami” apa yang sedang mereka pelajari.
(2) kesempatan untuk merefleksikan kegiatan tersebut.
Pembelajaran eksperiensial bisa didasarkan atas baik pengalaman kerja/hidup yang sebenarnya dan pengalaman yang terstruktur yang mensimulasikan atau mendekati pengalaman kerja/hidup yang sebenarnya
Experiential learning dapat didefinisikan sebagai tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman yang secara terus-menerus mengalami perubahan guna meningkatkan keefektifan dari hasil belajar itu sendiri. Dalam teorinya, Kolb dalam Baharudin dan Wahyuni mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman (experience).
Selain itu, aktivitas eksperiensial bisa digunakan untuk pembelajaran yang bersifat kognitif (memahami informasi atau konsep), behavioral (mengembangkan keterampilan) dan afektif (meniti keyakinan). Misalnya salah satu cara yang gemilang untuk membantu pesarta memahami sebuah proses yang bersifat amat teknis adalah dengan “benar-benar melakukannya.” Kadang-kadang sejelas apapun penjelasan atau sedeskriptif apapun alat bantu visualnya, sebagian prosedur tertentu tidak bisa dipahami, karena itu untuk membantu menerangkan materi bisa dilakukan dengan cara salah satu peserta mempraktikkannya.
Experiential learning itu sendiri berisi 3 aspek yaitu: Pengetahuan (konsep, fakta, informasi), Aktivitas (penerapan dalam kegiatan) dan Refleksi (analisis dampak kegiatan terhadap perkembangan individu). Ketiganya merupakan kontribusi penting dalam tercapainya tujuan pembelajaran.
Bagaimana menerapkan itu semua dalam iman kepercayaan kita? Kadang kita tidak mau tahu dan terlibat lebih jauh untuk mengerti apa yang kita percayai. Intinya adalah kita mrlakukan iman tertutupi oleh rutinitas. Hal itu yang membuat iman kita terasa hampa. Bukankah kita harus tahu dan mengalami secara langsung iman kita, baru bisa merasakannya menjadi pengalaman.
Pengalaman menjadikan iman kita menjadi lebih kuat. Bukan hanya karena pencobaan atau penderitaan, tetapi bahkan dalam kesalehan. Justru dalam kesalehan, kita kadang merasa bahwa iman akan selalu mengalahkan logika. Kita seolah-oleh justru memamerkan kerohanian saat kita tidak berpikir dengan logika.
Hendaknya kepercayaan kita menjadi lebih kuat lagi melalui eksperiansial. Dengan begitu kita bukan melogikakan iman atau sebaliknya, tetapi mencari pengetahuan agar iman kita semakin bertumbuh dan menjadi refleksi dalam kehidupan ini.
Selamat berproses.
pexel.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar