Agama, sebaliknya tidak mengklaim untuk jadi petunjuk praktis pengubah dunia. Semangat agama yang paling dasar menimbang hidup sebagai yang masih terdiri dari misteri, memang ada orang agama yang seperti kaum Marxis, menyombong bahwa “segala hal sudah ada jawabnya pada kami”; tapi pernyataan itu menantang makna doa—dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam doa, kita tahu, kita hanya debu
Di dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia, tentu tidak dapat dipisahkan dari hubungan manusia dengan Tuhan. Ritual keagamaan menjadi simbolya. Tidak jarang, demi mengatur hidup bersama orang lain, ada hukum-hukum di dalam setiap agama yang mengatur kebaikan manusia. Hukum agama bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan tentu saja itu mencerminkan kesalehan setiap pemeluk agama.
Namun sayang, kesalehan ini seringkali hanya bergerak pada pemenuhan hukum-hukum agama. Ketaatan pada aturan-aturan dianggap sebagai sebuah ‘kewajiban’, yang kadang tak lagi bernilai. Atribut-atribut hanya sebagai simbol tanpa pesan mendalam. Lebih mengherankan, ketaatan hukum inilah yang sering membuat perpecahan terjadi. Betapa tidak? Karena ingin taat hukum, seseorang merasa harus mengetahui, mana yang benar dan mana yang salah. Tidak peduli baik atau jahat, yang penting benar atau salah. Hal itu dilakukan untuk menghindari siksa neraka. Asumsinya, ketika mengerjakan kebenaran semata, tak peduli baik atau tidak, maka tiket menuju sorga telah dipegangnya. Akhirnya, pemahaman ‘hitam putih’ ini mendorong orang untuk membangun sekat antara dirinya dengan orang lain, terkhusus mereka yang tidak sejalan dengan persetujuannya pada satu aturan agama tertentu. Sehingga tidak jarang, manusia berlomba-lomba untuk menunjukkan kesalehannya.
Agar tidak menjadi ajang perlombaan kesalehan, hendaknya kita melakukannya secara “tersembunyi.” Yang penting adalah menjadi teladan, bukan untuk dilihat orang. Mungkin di permukaan keduanya tampak mirip, namun sangat berbeda pada motivasinya. Dengan demikian keteladanan adalah kunci pertobatan. Dengan mengarah pada keteladanan hidup seseorang menunjukkan dirinya menjadi berkat bagi sesama. Kesalehan pada keteladanan bukanlah tindakan arogan dan terarah pada diri sendiri saja, tetapi terarah pada Tuhan dan sesama. Kesalehan bukan diperdebatkan tetapi dirasakan dampaknya bersama. Kesalehan tidak memecah belah, tetapi terangkai dalam harmoni kebaikan untuk kebaikan dengan sesama.
Hakikat kesalehan adalah kesediaan manusia untuk merasa tak berdaya di hadapan Tuhan, merasa setara dengan sesama, dan merasakan kebaikan Tuhan yang menyelamatkan. Kesalehan bukan syarat kita masuk sorga, melainkan ungkapan syukur karena Allah berkenan menyelamatkan kita. Manusia adalah abu, kita juga akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu kita hendaknya sadar akan ketidak berdayaan diri, sehingga kita membutuhkan pertolongan Tuhan dalam setiap hal. Tuhan telah menyelamatkan, kita wajib memberikan rasa syukur dengan sepenuh hati. Rasa syukur sebagai umat yang diselamatkan terwujud melalui tindakan membangun kehidupan di dunia yang sama, bersama dengan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar